Sabtu, 22 Oktober 2011

** IMAN DAN HATI ** bagian I

by Ilmu Hakekat Usul Diri

IMAN DAN HATI
Pada kesempatan ini saya ingin menambahkan uraian yang terdahulu tentang islam, Iman, Tauhid dan Makrifat dimana ke-empat perkara diatas tidak boleh sama sekali dipisahkan antara satu dengan lainya.
Pada uraian yang lalu kita sama-sama telah mengetahui bahwa islam tanpa iman adalah islam yang hampa dan iman tanpa tauhid adalah iman yang rapuh (mudah patah) dan tidak tahan diuji sedangakan tauhid tanpa Makrifat adalah suatu tauhid membabi buta. Oleh karena itu sadarlah kita bahwa islam, iman, tauhid dan makhrifat mempunyai kaitan rapat yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainya.
Ditegaskan juga barang siapa mengambil islam sebagai jalan hidupnya, maka tentunya tidak terlepas dari pada apa yang dinamakan ujian yaitu sesuatu bentuk tekanan, godaan paksaan, rayuan, yang membuat seorang manusia itu melupakan tugasnya yaitu sumpah janjinya dengan Allah s.w.t.
Untuk bisa lulus dalam ujian ini maka manusia yang memilih islam sebagai cara hidupnya haruslah bergantung kepada suatu dahan yang bernama IMAN. Sesungguhnya iman sajalah yang bisa menyelamatkan manusia.
Iman juga yang dapat menyelamatkan manusia itu agar tidak terjerumus kelembah kelalaian, dan hanyut dalam gelombang kehidupan duniawi saja.
Dengan iman-lah kita dapat menguatkan tali perhubungan antara manusia dengan Allah serta membawa manusia petunjuk kejalan yang benar hingga membuat diri rahasianya dapat dikembalikan kepada diri Empunya diri yaitu Tuhan semesta alam.
Didalam Al-Quran Allah s.w.t  berkali-kali sudah memberi ingatan kepada kita terhadap bahaya godaan-godaan ini dan manusia sering di-ajar-kan agar bisa tahan diuji dan bisa menerima segala macam bentuk ujian yang menimpanya secara langsung atau tidak langsung dengan lapang dada dan jangan sampai terbawa arus godaan ini.
Sesungguhnya dahan iman tidak mungkin kuat jika tidak mempunyai pedoman yang bernama tauhid karena iman yang tidak berpedoman pada tauhid akan mudah rapuh, patah apabila dilanda gelombang godaan. Oleh karena itu sadarlah bahwa keyakinan (iman) tanpa pegangan (tauhid) tidak mungkin dapat mempertahankan wadah islam.
Kuatnya suatu keyakinan karena adanya pegangan, tanpa pegangan sudah tentu hancurlah keyakinan, maka timbulah perasaan was-was dan sebagainya yang bisa membawa kita syirik kepada Allah s.w.t, oleh karena  itu maka se-orang islam seharusnya mempunyai iman,  dan iman pula harus berpedoman kepada tauhid dan sesungguhnya tauhid pun tidak mugkin terlepas dari suatu tindakan yang bernama makrifat.
Sejak lahirnya islam sebagai cara hidup manusia mulai zaman nabi adam a.s dan terus bersambung hingga sekarang ini maka islam menekankan hidupnya dengan sesuatu yang bernaman Iman.
Adam a.s mengajak manusia supaya mempunyai iman. Idris a.s mengajak manusia supaya beriman. Ibrahim a.s mengajak manusia supaya beriman, singkat kata imanlah yang menjadi pokok perjuangan wadah islam itu sendiri sejak awal sampai akhirnya. Bahkan Allah s.w.t sendiri dalam firmanNya tidak pernah  “ bicara “ dengan manusia walaupun dia beragama islam, tetapi Allah hanya berfirman khusus kepada manusia beriman saja.
Sesungguhnya manusia yang beriman saja dapat menerima sesuatu yang tidak bisa diterima dengan menggunakan akal fikiran dan dengan iman juga kita dapat menerima sesuatu yang wujud diluar jangkauan pemikiran manusia itu sendiri.
Tanpa iman, manusia tidak dapat menerima hakekat wujudnya Allah oleh karena itu betapa jelasnya kepada kita bahwa alangkah pentingnya peranan iman kepada kehidupan seorang manusia.
Jika ilmu kalam dapat diterima dan dapat dikaji oleh akal fikira manusia maka ilmu gaib dan ilmu syahadah Allah s.w.t hanya bisa diterima oleh daya keimanan yang kuat. Sesungguhnya otak yang cerdas dapat dengan mudah menerima ilmu kalam yang diajarkan oleh guru atau masyarakatnya, tapi bagaimana dengan otak yang lemah, tentu orang tersebut tidak dapat menerima suatu ilmu kalam maka sudah tentu juga manusia tersebut akan menjadi bodoh dan sebagianya.
Jika ilmu kalam dapat diterima oleh akal pemikiran manusia maka ilmu gaib dan ilmu Syahadah tidaklah sekali-kali dapat diterima oleh akal pemikiran manusia, tapi sebaliknya hanya dapat diterima oleh batin yang bernama iman.
Untuk menerima ilmu kalam manusia harus mengasah otaknya supaya menjadi tajam dan pintar tetapi untuk menerima ilmu Gaib dan ilmu syahadah manusia harus menguatkan kuasa imanya dengan jalan manusia tersebut harus membersihkan hatinya dengan Allah s.w.t.
Semakin bersih hatinya dengan Allah, maka semakin kuatlah kuasa penerimaan ilmu Gaib dan ilmu Syahadah, sesungguhnya tanpa otak batin yang bernama iman maka manusia tidak akan dapat menerima petunjuk dari Allah.
Didalam uraian yang lalu telah diartikan iman sebagai sesuatu keyakinan yang mutlak terhadap sesuatu tanpa mensyirikkanya pada yang lain, suatu keyakinan yang tidak boleh diubah-ubah dimana harus tetap teguh dan berpegangan tauhid atau pegangan yang mutlak.
Sesungguhnya keyakinan yang dimaksudkan ini bukan sekali-kali keyakinan paksaan dan sebagainya, sebaliknya keyakinan ini muncul dari diri itu sendiri tanpa dibuat-buat. Sesungguhnya keyakinan yang sebenarnya terbit dari cahaya kesucian nafsu (derajat) manusia itu dengan Allah s.w.t.
Berawal IMAN itu adalah terdiri dari huruf yaitu :  Alif   Ya,  Mim,  Alif,  Nun
Sesunggnya (Alif) petama didalam perkataan iman itu adalah diisyaratkan kepada hati. Huruf  (Ya) didalam perkataan iman itu diisyaratkan kepada mata hati (Mata Batin) .. Huruf (Nun) didalam perkataan iman itu adalah mengisyaratkan pula kepada cahaya Mata hati ( Cahaya Mata Batin)…
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa perkataan IMAN itu akan membicarakan 5 pekara yang mempunyai kaitan diantara satu dengan yang lainya yaitu :
-
  1. Diri Batin
  2. Hati
  3. Mata Hati
  4. Hakekat Insan
  5. Cahaya Mata Hati

Oleh sebab itu untuk menghasilkan suatu bentuk pemahaman yang sebenarnya terhadap iman, maka seseorang itu perlu memahami secara mendalam tentang lima perkara di atas. Sesungguhnya diri batin manusia itu adalah diri rahasia Allah s.w.t. dan manusia itu adalah sifat Allah, dan nama manusia itu adalah nama Allah s.w.t. dan kelakuan manusia itu adalah kelakuan Allah s.w.t. jua. Sesungguhnya tiada kelakuan manusia pada manusia kecuali kelakuan Allah s.w.t.
Manusia datang dari alam gaibul gaib dan harus kembali kealam gaibul gaib dan zahirnya diri manusia adalah sekedar untuk menyatakan sifat Allah s.w.t. karena Allah s.w.t. Tuhan semesta alam menyatakan dirinya dengan sifat-Nya dan memuji diri-Nya dengan nama-Nya dan menguji sifat-Nya  dengan afa’al-Nya. Sesungguhnya diri manusia itu dari diri yang satu dan kembali pada yang satu, apabila sifat dapat menyatakan zat dan sesungguhnya zat akan kembali menjadi zat. Ini adalah sesuai dengan firman Allah s.w.t. didalam Al Quran :
Surah Al Qasnash : ayat 88
Maknanya ( Mengikut pandangan Tassauf )
“Tiada yang wujud hanya zat-Nya semata-mata, maka setiap sesuatu(yang zahir) adalah terhapus (tiada sebenarnya) kecuali semua yang zahir itu adalah wajah-Nya semata-mata. Dialah yang berhak dan kepada-Nya haruslah dikembalikan”
Oleh karena kita menyadari bahwa diri kita adalah sifat Allah s.w.t. dan sifat Allah s.w.t. akan diuji dengan afa’alNya bagi tujuan menentukan sumpah penyaksian sifat dan zat di alam roh dahulu, selama sumpah janji masih teguh dipegang, maka diri kita sudah tentu tidak terlepas daripada ujian. Seperti firman Allah s.w.t. didalam Al Quran :
Surah Al Ankabut ayat : 2
Artinya           :
 Apakah manusia mengira bahwa mereka mengaku kami telah beriman, sedang mereka tidak di uji lagi.
Sesungguhnya manusia dan ujian tidak dapat dipisahkan, manusia tetap akan diuji selagi menjadi manusia dan menggunakan nafas (nyawa) untuk hidup. selagi masih berjasad dan diri rahasia-Nya masih dikandung oleh jasad, maka selama itulah sifat Allah s.w.t. ini akan tetap diuji dengan berbagai ujian.
Ujian bukan saja bermakna “susah”, tetapi tidak kurang juga ujian Allah s.w.t. dengan apa yang dinamakan kesenangan”, sesungguhnya susah dan senang, miskin dan kaya, hina mulia dan  sebagainya yang melanda diri manusia adalah bahagian daripada bentuk ujian afa’al Allah s.w.t. terhadap dirinya.
Dewasa ini jarang sekali manusia yang menyadari hakekat ini, sebaliknya banyak dikalangan manusia tidak mengenal dirinya. Mereka mengaku dengan lidah mereka saja bahwa mereka ini adalah hak Allah s.w.t., tetapi pada kenyataannya sebenarnya mereka benar-benar masih berpegang bahwa dirinya itu adalah haknya sendiri, disamping mereka merasakan bahwa mereka harus memiliki sesuatu dan berhak pula untuk memilikinya. ……alasannya pada uraian berikutnya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar